Kabupaten Tuban — Di negara yang mengaku menjunjung supremasi hukum, publik memiliki ekspektasi sederhana: ketika pelanggaran terang-terangan terjadi, negara hadir. Namun, kasus dugaan tambang batu bara dan pasir silika ilegal di Desa Ngepon, Kecamatan Jatirogo, Kabupaten Tuban, justru memperlihatkan potret sebaliknya.
Pemberitaan mengenai dugaan aktivitas tambang batu bara dan pasir silika ilegal ini bukan sekali dua kali muncul. Nama-nama yang dikaitkan dengan aktivitas tersebut juga bukan lagi rahasia. Di lapangan, informasi yang beredar menyebut dugaan keterlibatan Kepala Desa Ngepon Mansur, serta tiga nama lain, yakni Joko, Budi, dan Agung. Namun tidak ada satu pun dari mereka yang memberikan klarifikasi terbuka meski terus menjadi sorotan.
Bahkan Yang paling mengganggu bukan sekadar siapa yang diduga terlibat, melainkan kenapa tidak ada tindakan?
Dalam kasus lain, aparat begitu cepat bergerak. Warga penambang pasir sungai tanpa izin bisa langsung diciduk. Penambang batu bata rakyat langsung ditindak. Namun ketika menyentuh wilayah tambang bernilai besar dan dikaitkan dengan aktor berpengaruh, hukum tiba-tiba kehilangan tenaga.
Pertanyaan ini harus diucapkan secara terang:
Apakah hukum kita bekerja selektif berdasarkan kekuatan pelaku?
Sikap Aparat: Membisu atau Memilih Diam?
Lebih memprihatinkan, alih-alih respons terbuka, sejumlah wartawan justru melaporkan hambatan komunikasi. Seorang oknum Kanit Reskrim Polres Tuban berinisial RD diduga memblokir nomor WhatsApp wartawan yang mengirim laporan lapangan terkait aktivitas tambang tersebut.
Apakah ini kebetulan teknis? Atau indikasi keengganan lembaga penegak hukum menerima informasi publik?
Tidak ada jawaban resmi. Tidak ada klarifikasi. Tidak ada konferensi pers. Yang ada hanya keheningan.
Dalam situasi seperti ini, publik wajar bertanya:
-
Apakah penegakan hukum dikendalikan oleh kepentingan politik dan ekonomi?
-
Apakah ada aktor yang merasa terlalu kuat untuk disentuh negara?
-
Apakah aparat takut, atau sengaja tidak mau bergerak?
Ketika institusi penegak hukum menghindari komunikasi dengan pers, yang dipertaruhkan bukan sekadar penyelesaian kasus, tetapi wibawa institusi itu sendiri.
Negara Rugi, Rakyat Jadi Korban
Tambang ilegal bukan sekadar urusan administrasi. Ini persoalan:
-
penerimaan negara yang raib,
-
lingkungan yang rusak permanen,
-
akses jalan desa yang hancur,
-
sumber daya alam yang dikuras tanpa mekanisme pemulihan.
Ketika negara membiarkan pencurian sumber daya, negara bukan hanya gagal — negara sedang dikalahkan oleh kepentingan kelompok tertentu.
Inilah Saatnya Jawaban Terbuka, Bukan Diam Seribu Bahasa
Kami tidak menuduh. Kami hanya bertanya—karena publik berhak tahu. Dan karena hukum tidak boleh tunduk pada siapa pun.
Aparat penegak hukum memiliki tugas, mandat, dan otoritas untuk menjawab:
-
Apakah lokasi itu sudah diperiksa?
-
Apakah izin dan dokumen telah diverifikasi?
-
Apakah pihak-pihak yang disebut sudah dimintai keterangan?
-
Apa alasan institusi belum bertindak?
Jika aparat tidak bersuara, maka opini publik akan mengisi kekosongan itu sendiri. Dan ketika publik mulai menyimpulkan bahwa negara hanya tegas kepada rakyat kecil, maka kepercayaan terhadap penegakan hukum sedang runtuh.
Pesan Redaksi: Hukum Baru Berarti Jika Ditegakkan Pada Yang Berkuasa
Editorial ini bukan ajakan untuk menuduh. Ini ajakan untuk menguji keberanian negara dalam menghadapi kepentingan besar.
Jika dugaan ini benar, maka penindakan harus dilakukan.
Jika salah, maka bantahan harus disampaikan.
Yang tidak dapat diterima adalah diam.
Karena diam, dalam konteks ini, bukan netral.
Diam adalah sikap politik. (*)

